Pandangan Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi & Putusan Mahkamah Agung

Bandar Lampung 22-08-2924, Ketua Cabang LKBH-SPSI Bandar Lampung, Aji Sofwan, S.H. Menerangkan, Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terlihat jelas bahwa putusan tersebut merupakan representasi dari makna Demokrasi dalam bernegara, bahwa menurut Aristoteles β€œDemokrasi adalah suatu kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah, setiap warga negara dapat saling berbagi sebuah kekuasaan di dalam negaranya sendiri” oleh karena itu putusan tersebut dapat berpotensi merubah kultur dalam pesta demokrasi khususnya pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dapat berpotensi menjadi alat kekuasaan dengan mengakomodir sebagian besar
partai politik untuk membentuk koalisi dengan calon tunggal melawan kotak kosong, oleh karnanya sudah sepatutnya menjadi angin segar untuk memperbaiki sistem Demokrasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengurangi ambang batas suara sah di DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kab/Kota untuk dapat mencalonkan calon gubernur dan calon wakil gubernur atau Calon walikota dan calon wakil walikota atau calon bupati dan calon wakil bupati.

Harapan, kepada lembaga negara agar sepatut nya mematuhi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik dan bijaksana, bahwa harus kita ketahui dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (Final and Binding) tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun untuk kemudian mengakali putusan ini.

Bahwa, kita sebagai warga negara indonesia yang baik dan mengerti tatanan negara demokrasi sepatutnya kita kawal putusan ini untuk kemudian jangan sampai adanya Pembangkangan Konstitusi dengan cara apapun dan oleh siapapun.

Selanjutnya, terkait dengan Putusan Mahkamah Agung yang kemudian menjadi problematika dalam masyarakat yang sarat dengan kepentingan Penguasa Tirani untuk meloloskan sanak keluarga dalam pemilihan kepala daerah, Judicial review dalam hal ini sudah tidak lagi menjadi upaya untuk mengawal demokrasi, akan tetapi justru melemahkan sendi-sendi demokrasi, kemunduran demokrasi tersebut dapat dilihat dari penggunaan lembaga yudikatif dan lembaga legislatif sebagai alat kekuasaan.

Strategi Politik Elektoral mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 yang kemudian meloloskan putra mahkota dalam kontestasi pemilihan umum presiden dan wakil presiden, lalu sekarang pola yang sama digunakan dalam pemilihan kepala daerah melalui putusan Mahkamah Agung No.23 P/HUM/2024.

Putusan tidak Progresif bilamana hakim berpandangan dengan adresat dalam
permohonan ini dengan menggambarkan original intent seolah-olah adanya kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara, maka apakah dengan mengabulkan permohonan ini dengan mengubah pemaknaan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih signifikan untuk kemudian menjadi alasan kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara. Penalaran hukum seperti inilah yang memunculkan pendapat publik putusan tersebut memang untuk meloloskan jalan anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep maju sebagai calon kepala daerah. Tercatat usia Kaesang menginjak 30 tahun pada 25 Desember 2024. pertimbangan majelis hakim MA yang
menyebut original intent UU 10/2016 mengakomodasi anak muda. Akan tetapi jarak waktu antara masa pendaftaran calon dengan pelantikan hanya berselang 3 bulan. Rentang waktu 3 bulan tidak signifikan untuk mengakomodasi anak muda untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah. Sekalipun menyebut original intent dalam pertimbangan putusan, tapi majelis hakim tidak mengutip original intent yang dimaksud. Padahal, hal itu dapat ditelusuri dalam naskah akademik RUU atau risalah sidang pembahasan RUU. Kesimpulannya, putusan MA No.23 P/HUM/2024 ini merupakan kemunduran, bukan terobosan. Penalaran hukum majelis hakim tidak wajar sehingga tidak layak untuk disebut sebagai putusan yang progresif. ( Red )

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan